Dia,terlahir mungkin bukan untuk saya.Bahkan ketika kami bersua,harusnya adalah kali terakhir kami berhubungan.Namun egois apakah yang memaksa batin untuk tetap menghubunginya.Sekedar mengirim pesan singkat yang isinya melulu itu-itu saja.Terkadang saya ragu bila berucap pada diri bahwa saya menyukainya.Entahlah,perasaan saya kadung terobsesi oleh pesona yang tak kasat mata,semua bermetafora ria dalam angan-angan hingga saya terkantuk-kantuk untuk mengeja rentetan alphabet yang meyusun namanya.Begitu indah,begitu mempesona.
Alkisah awal cerita,bila harus saya bercerita.Bagaimana mula kami berjumpa.Dinginnya taman cemara mencerca ubun-ubun kepala.Venesia,kota terapung yang sialan itu adalah buah dari kuasa tuhan yang dinafikan para matrealis di era ilmu pengetahuan begitu menggurita.Sudut sempit gang antara toko pasta dan roti Prancis panjang-panjang hingga saya lebih senang menyebutnya lemper gandum.Dia berjilbab,begitu rupawan.Tidaklah lumrah mengingat saya berada hanya beberapa ratus kilometer dari rumah ortodoks tempat paus berada.Memang di tempat itu banyak wanita berjilbab,namun mereka adalah biarawati-biarawati yang menciutkan hati saya.Bukan malu atau sungkan,saya hanya iba pada mereka,karena genital yang dianugrahkan tuhan hanya dipakai untuk proses akhir metabolisme,miris memang.Sejenak kemudian saya berada di sampingnya,bersama-sama menatap dinding tersusun bata merah.Terkejutlah ia ketika saya bertanya "Kelihatannya menarik pameran itu,bukankah begitu?" seraya jari telunjuk dengan sigap mengarah kearah poster yang terpampang.Saya yakin dia bersyukur,karena wajahnya sumringah ketika saya mengajaknya menikmati teh hangat di cafe Ciao!!.Dia mulai bercerita,layaknya orang-orang yang membagi perasaannya.Dengan rambu-rambu tejaga dia sangat hati-hati bertutur kata.Matanya,seakan ikut berbicara,sadarlah saya bahwa dia tak berdusta.Tegukan pertama teh hangat,saya mendengarkan.Saya menanggapi,mengapresiasi,merenungkan lalu berkomentar kemudian.Selalu seperti itu untuk 30 menit yang singkat.Sayangnya dia harus pergi,ada janji katanya.Secarik kertas dia tinggalkan,dari rentetan huruf tersusun sebuah alamat dunia maya.Dia berharap saya menghubunginya,atau mengunjunginya.Dalam dunia maya.
Tanpa disadari saya telah menyukainya,terobsesi atau sekedar melamunkannya.Segera saja notebook glossy hitam metalik saya nyalakan.Balutan warna silver terpampang menjadi border keyboard.Saya ingat waktu membelinya dulu.Berdesakan,berebut dan bahkan mengajukan harga diatas nilai wajar sebuah komputer jinjing.Tidaklah bagi saya sia-sia semua itu,karena notebook yang saya pakai benar-benar limited edition dan hanya ada satu di dunia.Bagaimana bisa!?Notebook yang saya pakai adalah barang seken dari orang ternama.Namanya Linus Torvalds,dia adalah bapak Linux yang baik hati.Dengan rela memberikan buah ketekunannya pada publik.Saat dia mampir di Roma untuk acara amal,saya menyambanginya.Dan salah satu barang yang di lelang adalah notebook seharga 3000 euro yang kemudian tanpa pikir panjang saya tawar tanpa basa-basi.
Bukan,bukan karena saya mengagumi programing,Linux,Unix atau apalah yang sifatnya digital.Saya hanya ingin beramal,beribadah.Kebetulan notebook itulah yang termurah,karena ternyata harga Disk Drive yang di lelang 2 kali lipat harga notebook saya.Buktinya,keesokan hari saya mampir ke toko komputer.Membeli windows 7 dan tanpa ragu menginstalnya.Menghapus Jauntry Jackalope yang terpasang sebelumnya.Tanpa rasa bersalah sedikitpun kepada Pak Linus.Saya sudah gila,itulah yang kerabat ucapkan saat tau apa yang saya lakukan.Bukan karena membeli notebook seken seharga puluhan juta,terlebih saya menghapus OS sebelumnya.Katanya,sejarah Distro Linux dunia ada pada notebook saya.Apakah saya menyesal!?Entahlah.Karena ternyata fungsi utama notebook bagi saya adalah Notepad,solitaire,winamp dan sesekali mendownload film biru dari situs redtube,dan saya tidak mendapatkan satu fungsi pun dari OS sebelumnya.Saya fikir itu barang rusak,ternyata hanya dengan memasukan Cd semuanya kembali normal.
Mulailah saya berselancar.Tenang tak perlu membayar,kalaupun harus saya tak keberatan.Sesaat saja saya merogoh saku celana belakang,mengeluarkan lembaran-lembaran kertas yang tercampur aduk tak jelas.Tentu saya ingat,gadis yang saya temui menulis sesuatu pada secarik kertas berwarna abu-abu bergaris.Saya linglung dan tak menemukanya,kemudian terkaget ketika menemukan bill 2 gelas martini.Sejak kapan saya minum-minum?Oh,lusa kemarin saya mentraktir seorang yahudi.Saya masih linglung,dan lelah kemudian lalu terpejam.
Biarkan saja,biarkan selimut berantakan.Seprei kusut dan bantal acak-acakan.Saya nyaman,tepatnya menikmatinya.Tak ada alasan kenapa saya betah dan tak berniat mengubahnya.Mungkin tak pernah mencoba,saya tak suka yang tak pasti.Tidak efisien.Terdengar seperti pembenaran diri,dengan yakin saya berkata kalau saya konsisten.Bahkan terhadap sesuatu yang jorok.Nikmatilah,karena hidup adalah pemberian yang paling indah.Begitulah seorang kerabat beucap pada status facebooknya.Saya lupa,apa saya nge-like atau tidak status tersebut.Walaupun tidak,saya yakin kalau dia tahu saya menyukainya.Status facebooknya.
Saya masih linglung,bahkan di pagi yang secerah ini.Tak ada schedule,dan saya putuskan untuk melihat pameran lukisan yang kemarin saya lihat posternya.Sebenarnya saya tidak tertarik,karena tuhan pun membenci pelukis.Juga lukisanya.Namun menjadi munafik untuk kali ini biarlah.Toh saya hanya menipu diri,bukan Dia.Untuk itulah saya sarapan di café seberang.Pasta yang cukup lezat dengan bumbu saos tomat.Kiranya cukup untuk menghidupi saya sampai tengah hari ini.Dengan sedikit bergegas saya membayar bill dan naik trem menuju pusat kota.Mengunjungi pameran sialan itu.
Tak dinyana,gadis kemarin yang saya temui berdiri di depan pintu gerbang pameran.Dia dengan jilbabnya.Perpaduan sempurna,unique dan elegan.Memegang setumpuk pamflet biru muda,menyodorkan kepada setiap pengunjung yang berderet panjang.Naluri saya melempar diri pada posisi mengantri.Berjejalan berdesakan.Saya heran,bagaimana mungkin sebuah pameran membosankan disesaki olah manusia sebanyak ini.Padahal puluhan ribu kilometer di seberang sana,pameran selalu sepi.Lesu dan tak dihargai.Formalitas kaum borjuis yang ingin dianggap memiliki cita rasa tinggi.Padahal mereka tak pernah mengerti apa yang mereka lihat.Saya lebih seperti mengantri jatah sembako gratis dari bulog dibanding mengantri menikmati pameran.Benarkah menikmati?Lebih tepatnya menonton.Karena guratan cat minyak pada kanvas hanyalah ilusi kontemporer menjemukan.Bagi saya,membaca secarik kertas koran dari pembungkus gorengan adalah kegiatan yang lebih menantang.Walau terkadang yang saya baca adalah iklan viagra atau vibrator.
Tibalah giliran saya,mendapatkan pamflet itu.Atau menatap wajahnya?Entahlah,saya lebih menikmati pilihan yang kedua.Saya pandangi senyumnya.Tak terlihat giginya.Mungkin dia malu tebak saya.Atau giginya tak bagus.Bisa juga dia pakai behel.Lamunan saya terhenti begitu orang dibelakang saya menegur dan sedikit mendorong.Mungkin dia juga tak sabar,untuk melihat senyumnya.Atau pameran lukisan.
Seperti yang telah saya duga sebelumnya.Semuanya menjemukan.Ruangan lembab diterangi lampu bohlam bernuansa hangat.Tak cukup membantu sepertinya.Saya membayangkan menanam jamur tiram ,kelihatanya cocok.Suhu yang lembab dan kering.Pencahayaan yang cukup,namun saya berfikir ulang untuk menyewa tempat ini untuk hal tersebut.Saya teringat ayah,dia peternak jamur di kampung.Jamur tiram.Dia enterpreuner sejati.Hidup adalah perjuangan dengan tangan sendiri,berdikari lah istilahnya.Seminggu sekali dia mengayak gypsum,limbah kayu dan jagung.Mencampurnya menjadi satu dan mengaduknya dengan air secukupnya.Memasukanya kedalam baglog plastik yang dengan telaten di pressnya satu demi satu.Hingga semua adonan habis,hingga baglog itu berjumlah lima ratusan.Lalu mengukusnya selama delapan jam hingga steril dalam tungku yang terbuat dari drum-drum disusun ke atas.Pernah beliau mengeluh,pinggangnya sakit katanya.Hingga seminggu kemudian beliau membuat alat pengukus yang lebih canggih.Bermodal satu juta limaratus ribu,pelat-pelat baja itupun menjadi alat tepat guna yang sangat membantu.Atau sekedar mengurangi sakit pingganya.
Saya hanya tersenyum memandanginya.Saya cukup dewasa saat itu.Hingga mengerti bahwa yang beliau lakukan pastilah berhasil membuat keluarga lebih sejahtera,sayangnya itu semua hanya mimpi seorang remaja tanggung.Saya berpaling dan mulai mencintai literer,tepatnya saya lari dari kenyataan untuk sebuah rasionalitas realitas.Atau idelitas.
Gadis itu tiba-tiba mengampiri.Saya belum siap,saya nervous.Dengan bibir yang perlahan tebuka dia mulai berkata-kata.Pada saya tentunya.Dia tahu saya bosan,atau dia tahu saya cukup tolol untuk menikamati lukisan.Karena dengan segera dia menjadi guide tanpa diminta.Saya mengamini dengan suka cita.Kesempatan lebih dekat dan mengenalnya lebih jauh.Barulah satu jam kemudian saya tahu,bahwa dia adalah guide yang profesional.Dia hanya mengenalkan namanya,tanpa memberi nomer telfon.
Namanya Ratna Wira Atmaja.Konservatif sekali kesan pertama saya.Bagaimana nama kolot seperti itu bisa terdampar di kota seindah ini.Bagaimana mungkin seorang keturunan biru di izinkan melanglang buana ke negeri orang padahal adat keluarga melarangnya dengan keras.Namun apalah arti sebuah nama kalau boleh saya mengutip quote
Pak William Shakespear.Karena saya tahu,dia idealis,sama seperti saya.Kita cocok.
Tidak,saya tidak berniat mencarinya di dunia maya.Karena saya ingin membentuk relasi yang nyata dengannya.Suatu hubungan yang dijembatani emosi dan perasaan.Bukan fiber optik atau jaringan wireles lainya.Saya yakin,takdir akan mempertemukan kami lagi suatu waktu.Seperti dua pertemuan yang lalu.Seminggu kemudian saya mencarinya di facebook.Untuk kali pertama saya tak konsisten.Dan saya menikmatinya.Menjadi munafik untuk kedua kalinya,demi gadis itu.Sejujurnya saya tak tahan,untuk segera melihat senyumnya lagi.Senyum tertahan tanpa terlihat gigi.Namun dia tak memakai behel.Saya tahu karena ketika dia menjadi guide di pameran lukisan,hal itu yang pertama kali ingin saya selidiki.Dan saya melihat giginya putih bersih dan rapih.Untuk itulah saya heran mengapa dia tak mau tersenyum dengan memperlihatkan giginya.
Hanya setengah hari sampai dia mengkonfirmasi permintaan pertemanan saya.Karena ketika notebook glossy itu saya nyalakan dan segera bersurfing ria,saya menemukan pemberitahuan kalau dia menerima permintaan pertemanan yang saya ajukan.Dan dengan segera mengucapkan terimakasih.Formalitas belaka.Lalu nomor handphone dan alamat email menyusul kemudian.
Anggaplah dunia ini akan kiamat esok hari,mungkin saya akan sangat senang sekali.Karena ternyata gadis itu telah bertunangan.Marco,nama tunangannya.Bodohnya,saya mengetahui hal itu dari facebook.Cukup,saya tak pernah berusaha mengenalnya lagi.Atau berharap takdir mempertemukan kami lagi.Pameran lukisan yang memang menjemukan bermetaforfosis menjadi momentum titik tolak.Sebuah awal.Perubahan,atau tepatnya kembali menjadi diri sendiri.Tuhan sepertinya menghukum saya.Saya harus tetap konsisten untuk tidak munafik.dan saya bersyukur telah di tegur.
Pagi hari yang cerah.Saya masih linglung ketika bangun dan mendapati kamar acak-acakan.Seperti biasa seperti semula.Saya mengulum senyum.Saya konsisten.