Sebenarnya gak harus aku melakukanya.Telfon rumah berdering dan aku,aku hanya terdiam menunggu telfon itu berhenti berdering.Telfon berwarna merah candy,bukan model terbaru memang.Namun rupanya,kesetian benda itu tiada tara.Dia telah menemani aku,kami dan semua penghuni rumah ini.Bahkan sejak rumah ini berdiri,dia dengan setia berdering menyampaikan kabar.Menyampaikan suara dari seberang sana.Memberikan perasaan senang ketika mendengar kabar bahwa ayah dan bunda dalam keadaan sehat ketika berada di tanah
suci.Menggegerkan seisi rumah begitu tau kalau kakak memenangkan hadiah dari kuis di televisi.Begitupun kabar duka,ketika paman memberitahu bahwa kakek meninggal tersambar petir ketika pergi ke sawah.Padahal ayah sudah melarangnya.Bukan bermaksud durhaka,tapi ayah sayang dan begitu perhatian kepada kakek.Beliau tak ingin melihat ayahnya masih membanting tulang di sawah.Padahal semua kebutuhan hidup telah ayah penuhi.Bahkan lebih dari cukup,fasilitas-fasilitas yang mutakhir dibawa ayah kedalam rumah di suatu desa.Rumah kakek tentunya.Barang-barang elektronik,dan tak lupa ayah mempekerjakan pembantu untuk merawat kakek.Namun kakek tetaplah kakek.Orang tua yang lahir pada zaman orde lama.Dengan segala ke-kolotanya dan sifat-sifat konservatif yang menyelimutinya begitu tebal,begitu kental.Bibi pernah cerita,dulu waktu ayah masih muda beliau meminta izin kepada kakek untuk sekolah di Yogyakarta,jurusan seni adalah minatnya.Namun kakek!?Beliau tak kenal seni.Beliau tak kagum akan Picasso,Mozart atau Da Vinci.Beliau hanya mengenal Bung Tomo sebagai panutan.Mengagumi Soekarno layaknya bos besar dengan segala kearifan dan ketulusan.Dan mencintai Bung Hatta sepenuh jiwa.Bahkan dikamarnya,terdapat frame tebal besar membingkai foto sang wakil presiden di awal pemerintahan.Dia tau,bahwa sosok seperti itulah yang dia inginkan dari anaknya,dari ayahku.Bukanya melukis,menyanyi atau memahat seperti yang di cita-citakan ayah.Kakek mengharamkanya,menghukumnya dengan kayu rotan bila membangkang.Mengurungnya di dalam kamar ketika tau anaknya mendapat nilai buruk pada pelajaran ilmu pasti.
suci.Menggegerkan seisi rumah begitu tau kalau kakak memenangkan hadiah dari kuis di televisi.Begitupun kabar duka,ketika paman memberitahu bahwa kakek meninggal tersambar petir ketika pergi ke sawah.Padahal ayah sudah melarangnya.Bukan bermaksud durhaka,tapi ayah sayang dan begitu perhatian kepada kakek.Beliau tak ingin melihat ayahnya masih membanting tulang di sawah.Padahal semua kebutuhan hidup telah ayah penuhi.Bahkan lebih dari cukup,fasilitas-fasilitas yang mutakhir dibawa ayah kedalam rumah di suatu desa.Rumah kakek tentunya.Barang-barang elektronik,dan tak lupa ayah mempekerjakan pembantu untuk merawat kakek.Namun kakek tetaplah kakek.Orang tua yang lahir pada zaman orde lama.Dengan segala ke-kolotanya dan sifat-sifat konservatif yang menyelimutinya begitu tebal,begitu kental.Bibi pernah cerita,dulu waktu ayah masih muda beliau meminta izin kepada kakek untuk sekolah di Yogyakarta,jurusan seni adalah minatnya.Namun kakek!?Beliau tak kenal seni.Beliau tak kagum akan Picasso,Mozart atau Da Vinci.Beliau hanya mengenal Bung Tomo sebagai panutan.Mengagumi Soekarno layaknya bos besar dengan segala kearifan dan ketulusan.Dan mencintai Bung Hatta sepenuh jiwa.Bahkan dikamarnya,terdapat frame tebal besar membingkai foto sang wakil presiden di awal pemerintahan.Dia tau,bahwa sosok seperti itulah yang dia inginkan dari anaknya,dari ayahku.Bukanya melukis,menyanyi atau memahat seperti yang di cita-citakan ayah.Kakek mengharamkanya,menghukumnya dengan kayu rotan bila membangkang.Mengurungnya di dalam kamar ketika tau anaknya mendapat nilai buruk pada pelajaran ilmu pasti.