Pagi itu pukul 9.00, dinda bangun dari solat subuhnya, menatap langit-langit kamarnya, otaknya menerawang tentang hari ini. Setengah dirinya masih disana di dunia antah berantah, pecahan mimpi masih berlari dalam benaknya, oh ya tadi itu tentang dunia taun 2050, fiksi lagi pikirnya. Lalu dinda duduk terpaku, kamarnya masih seperti tadi malam ketika ia tinggal tidur. Satu gelas berisi teh yang belum habis diminum, masih begitu menjadi sarapan untuk semut. Buku-buku tergeletak begitu saja, hanya AL-Qur’an yang tetap bergeming, maaf tuhan ucap dinda dalam hati.
Lalu dinda bangkit, suara kehidupan menggoda dirinya untuk terjun dalam dunia nyata , meski malas tapi tak mungkin sebab waktu tak berhenti. Membuka gorden kamarnya, motor masih ada, motor mio-nya, lalu disampingnya vespa tua abangnya, sendal-sendal tidak rapi tertata, lalu bunga rawatan mamahnya. Anggrek, suplir, dan lain-lain lagi. Mamah suka marah kalo bunga itu rusak, bahkan kalo hanya tersentuh, mamah sayang bunga-bunganya. Sekarang mamah tak tau, ujung bunga yang baru mekar itu bersentuhan dengan badan vespa abang. Dinda tersenyum simpul, manis.
Kamar dinda berhadapan langsung dengan gerasi rumahnya, dinda punya akses pintu sendiri. Menit berlalu seiring rasa pusingnya hilang, seutuh jiwanya kini sudah mengisi tiap rongga tubuh. Pintu dibuka, sepi. Abang masih tidur rupanya, mungkin lelah berkerja, biarlah. Dinda menerka keberadaan mamahnya, dengan suara pisau yang memotong, suara serok bersentuhan dengan katel, mamah pastilah di dapur. Benar rupanya, mamah begitu dan selalu senang begitu. Dengan begitu mamah bisa, sedikit menyimpan dulu memori tentang ayah. Sekarang mungkin sedang melihat dari alam barzakh sana.
Dinda menyapa mamahnya, mamah tersenyum. Dinda tau sejak ayah tak ada, senyum mamah tak sebahagia dulu, ada yang hilang dari senyumnya,mungkin sebagian senyumnya dibawa ayah. Dinda balas dengan senyum terbaikknya, berharap bias mengganti senyum yang hilang, dinda tau itu tak mungkin. Sama seperti mengganti ayah di hati mamah.
“masak apa mah? tanya dinda
“sayur asem, sama ayam” jawab mama sambil serius memtong-motong.
“sini mah dinda bantu” dinda menawarkan diri
“udah, gausah. Mamah masih bisa sendiri” jawab mamahnya.
Dinda hanya tersenyum, mamah memang begitu. Dinda sangat mengerti watak mamah, selama masih bisa sendiri mamah kerjain sendiri. Malah kalo dipaksa mamah justru suka marah. Dinda lalu tersenyum lagi, mamahnya kuat, hebat. Dinda bangga sama mamah, dalam hatinya.
Dinda beranjak ke ruang teve, pintu kamar abang masih tertutup, pertanda dia masih terlelap. Abang lelah mencari nafkah mengganti ayah. Dinda sayang sama abangnya, mewariskan sifat perkerja keras ayah. Dinda tau abang wartawan, dinda juga tau abang terkadang berdagang, dinda pernah liat. Waktu itu dinda nangis, tapi dinda inget mamah yang kuat, dinda ga lagi nangis. Justru kini bangga, dan dinda jadi bantu abang jualan.
Selalu foto keluarga diatas lemari, menjadi bagian dari pagi dinda. Ayahnya masih ada di sana, abang mirip sama ayah, mirip sekali seperti pinang dibelah dua. Mamah tersenyum sempurna, dinda dipangku mamah, menangis.
“Dulu kalo di foto takut sekarang kerjaannya malah foto-fotoan mulu” Kata abang sutau kali.
Pagi memang tak pernah terlewati, terlalu picik melewati indahnya pagi. Segelas kopi kini mengisi sebuah gelas, dinda suka kopi. Satu tempat selalu dinda kunjungi di pagi hari, teras depan rumahnya. Ada benteng pembatas disana, benteng kecil, untuk duduk harus menjaga keseimbangan agar tidak terjatuh. Dinda suka disitu, cahaya mataharinya banyak, katanya. Memang begitu, hangat matahari menyambut dinda, seakan sudah rindu, didatangi salah satu penggemarnya. Dinda duduk di benteng itu, kopi disimpan perlahan disampingnya, dinda menarik nafas dalam-dalam.
Dinda mengangkat gelas koinya, lalu bibir tipisnya menyentuh pinggiran gelas, ribuan molekul kopi yang telah berbentuk air, mengecap di birinya lalu lidahnya. Kopi disimpan, lalu dinda menutup matanya. Dinda menutup matanya, hal aneh tapi dinda suka. Telinganya saat ini yang melihat juga mendengar, kulit putihnya yang merasakan, hidungnya membau segala hal, bibirnya mengecap bagian alam, dinda masih disana meski jiwanya bersama alam dan dunia.
Angin lalu mengalir, menyentuh kulit-kulitnya berikan rasa segar seperti menyapu segala beban dan penatnya hidup, angin itu tak pelak berhenti. Angin memang terus mengalir, kini menerobos dedaunan. Dinda tau meski gelap, dedaunan itu kini bersuara, berbicara mungkin “terima kasih”. Suara daun itu begitu indah merasuki telinga dinda, duan-daun itu kini bergerak. Dibawahnya dinda tau ujung rerumputan pun ikut menjadi bagian aliran angin. Ujung kaki dinda menyentuh rumput –rumput itu, dinda merasa embun mengalir ke jari-jarinya.
Intensitas angin sementara berkurang membuat hangat matahari lebih terasa, begitu hangat terasa. Setiap jengkal tubuhnya kini bisa tersenyum, hangat matahari lunturkan penyakit hati. Dedaunan kini lagi sarapan, pikir dinda. Klorofilnya menyerap gratis sinar matahri. Betapa indah kehidupan ini, saling berbagi, saling memberi, saling mengisi.
Sinar matahari itu kini menerobos celah-celah dedaunan, dinda merasakan bagian tangannya yang kini dijulurkan, sepetak-sepetak tersinari hangatnya matahari, sepetek lagi tetap dingin. Dinda menggerakkan tangannya, bagian yang tadi dingin kini menjadi hangat. Begini memang hidup kita harus bergerak, mengisi bagian diri yang kosong.
Dinda lagi mendengar suara burung, terbang. Suara burung yang cepat berbeda dengan yang lambat. Angin membantu mereka untuk terbang, membantu capung yang selalu butuh angin untnk terbang. Lama dinda bersatu dengan alam, tak sedkitpun membuka matanya, hanya ingin merasa saja.
Akhirnya mata batin dinda buka, cahaya matahari membuatnya sulit untuk memfokuskan pandangan. Kemanapun dia pergi, hanya warna matahari yang mengikuti. Dinda mengedip-ngedipkan matanya, berusaha memfokuskan penglihatan. Sedikit demi sedikit pandangannya fokus. Dinda lalu tersenyum sendiri, ini tadi semua yang dirasakannya. Mata ini melihat tapi biasanya saja, jika merasa semuanya menjadi tak biasa, memberikan dinda pelajaran. Terima Kasih Tuhan, Allah SWT
Kini dinda bisa menatap dunia dengan lebih indah, menatap hidup lebih cerah. Secerah matahari pagi ini. Menyadari hidup terus berlalu seperti angin yang terus mengalir, apakah harus menerobos dedaunan tapi terus saja mengalir, memberikan udara pada yang lain. Dinda sadari sebagai manusia sebisa mungkin harus jadi yang bermanfaat untuk sesama.. Tak pelak sesakit apapun hidup ini pagi selalu datang, waktu terus berlalu. Dinda sadari saling mengisi, saling membantu, saling berbagi adalah hal-hal yang wajibnya setiap manusia perbuat agar lebih kuat menopang kerasnya hidup. Dinda tersenyum lagi, ada mamah dan abang, dinda bersyukur. Lalu dinda bangkit, melangkah masuk ke dalam rumah, meninggalkan indah pagi ini, bergerak menjalani nyatanya dunia. Dinda siap, dinda kuat. Terima kasih pagi, terima kasih tuhan, Allah SWT.
Tapi gelas kopinya masih disitu, dinda tak suka kopi, ayah yang suka, kopi dinda tak habis memang tak pernah habis. Sama seperti esok yang tak pernah habis dan selalu ada, sama seperti ayahnya yang mengajari dinda untuk menatap dunia dengan rasa…
Ahmad Mahadi